MAHESTYA MAHARDHIKA
XII IS 1
BAHASA INDONESIA
Namaku Febri, aku
berumur 13 tahun. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di sebuah rumah sederhana
di pinggiran kota .
Aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Dwi. Aku kenal dia sejak SD. Dwi
orangnya baik, asik dan enak diajak curhat. Tapi kadang-kadang dia orangnya
suka jail. Dia sudah tidak mempunyai Ibu lagi, jadi dia menganggap Ibuku
sebagai Ibunya juga.
Jam menunjukan pukul
7.00. Hari itu sangat cerah, aku berjalan menuju sekolah sendirian tanpa
ditemani sahabatku, Dwi. Aku tak tau kenapa belakangan ini dia selalu jaga
jarak kepadaku. Setiap aku mendekati dia untuk menanyakan sesuatu hal, tetapi
dia hanya menatapku dengan tatapan kosong lalu beranjak dari hadapanku.
Satu minggu berlalu.
Hari ini hari ulang tahunku. Sama seperti biasanya, dia masih tidak mau
berbicara ataupun bertemu denganku lagi. Aku kira dia ingat dengan hari ulang
tahunku. Aku sangat kecewa saat itu. Bel kelas berbunyi, aku pun memasuki kelas
sendirian dengan wajah cemberut. Aku tidak berkonsentrasi saat jam pelajaran,
dikarenakan aku masih memikirkan tentang kelakuan sahabatku Dwi. Aku hanya
melamun sepanjang jam pelajaran. Sampai-sampai salah satu guru yang mengajar di
kelas menegurku untuk tidak melamun saat jam pelajaran. Aku hanya mengangguk
dan mencoba untuk berkonsentrasi ke materi pelajaran.
Bel istirahat berbunyi.
Saat itu hujan deras dan semua teman-temanku sudah meninggalkan sekolah.
Kebanyakan dari mereka dijemput oleh orangtua masing-masing dan ada juga yang
berjalan kaki dengan nekat menerobos hujan. Aku menunggu jemputan di depan
ruang kelas, kebetulan ruang kelasku tepat di depan pagar sekolah. Aku ditemani
oleh satpam sekolah yang bernama Pak Ahmad. Di tengah turunnya hujan aku dan
Pak Ahmad hanya berbincang-bincang seputar murid-murid yang nakal dan pelajaran
sekolah. Jujur, Pak Ahmad orangnya asyik di ajak berbicara, walaupun dia
orangnya agak kelihatan sedikit sangar.
Tak lama kemudian,
datanglah seorang pria berkumis yang menaiki sebuah mobil mewah. “Sepertinya
aku mengenal orang itu”, gumamku dalam hati. Dia menghampiriku dan tersenyum.
“Benarkah kau yang bernama Febri?”, ucap pria berkumis itu. “Iya benar, ada apa
Pak?”, jawabku. “Bisakah nak Febri ikut bersama Bapak ke rumah sakit? Ada yang merindukanmu di sana ”, “Rumah sakit Pak? Siapa yang sakit?”,
tanyaku dengan ekspresi wajah tegang. “Kamu ikut saja dengan bapak” jawab Pria
itu. “Baiklah Pak”. Aku dan Pria berkumis itu berjalan ke arah mobil dan dengan
segera berangkat ke rumah sakit. Dan meninggalkan Pak satpam sendirian. Di
tengah perjalanan kami tidak berbicara sepatah kata pun. Saat itu aku sangat
gelisah, dan tidak tau harus berbuat apa-apa. Aku hanya diam dan berusaha
tenang.
30 menit kemudian
sampailah kita di Rumah sakit, nama rumah sakit itu RS Sanglah. Aku mengikuti
Pria berkumis itu ke salah satu ruangan di Rumah Sakit. Betapa terkejutnya aku
saat melihat orang yang berbaring lemah di atas tempat tidur dengan jarum
infuse yang tertanam di punggung tangan mungilnya. “Dwii…!!!”, aku berteriak
sangat keras. Lalu aku menghampirinya dan menggenggam tangan kirinya dengan
erat. “Dwi kau kenapa? Kau sakit apa? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?”
ucapku tergesa-gesa. Dwi hanya tersenyum dan tidak mengatakan sepatah kata
apapun. Aku semakin panik dan bingung. Di tengah-tengah kepanikanku, tiba-tiba
ada 5 orang dokter dan 2 orang perawat yang memasuki ruangan ini. “Maaf bapak
dan adik harus menunggu di luar, karena kami akan melakukan beberapa
tahap-tahap pemeriksaan” ucap salah satu dokter. Aku dan pria berkumis itu
hanya mengangguk dan menuruti perkataan salah satu dokter.
Saat kami berjalan
menuju luar, aku sempat menatap wajah Pria berkumis itu, tampaknya dia sangat
gelisah dan sedih. Aku mulai bertanya kepada Pria berkumis itu, “Maaf Pak saya
mau bertanya, sebenarnya Bapak itu siapa?”, ucapku. “owh iya Bapak belum
memperkenalkan diri bapak. Nama Bapak pak Agus, saya adalah Bapaknya Dwi”. Aku
hanya diam dan menatap Bapak itu beberapa detik lalu kembali menunduk. “Jadi
sebenarnya apa yang terjadi pada Dwi Pak?”, tanyaku dengan wajah penasaran.
“Jadi begini, Dwi itu sejak 3 tahun yang lalu mengidap penyakit kanker darah
(Leukimia) yang memang tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Dan itu pun
harus mengikuti serangkaian proses Kemoterapi. Dokter sempat memvonis 1 minggu
yang lalu, kalau dwi hanya dapat bertahan hidup selama 10 hari saja. Karena sel
kanker tersebut sudah menggerogoti badan dwi”. Aku tidak bisa berkata apa-apa
aku hanya menundukkan kepala dan menangis sejadi-jadinya.
Saat itu dokter keluar
dari ruangan Dwi. Wajah dokter itu tampak lesu dan sepertinya penuh kekecewaan.
Pak Agus segera menghampiri dokter itu dan ia menanyakan sesuatu hal,
“Bagaimana keadaan anak saya dok?”. Dokter tidak merespon pertanyaan Pak Agus
ia hanya menunduk dan diam. “Dokter sebenarnya apa yang terjadi dengan Dwi
dok?” ucapku sambil menangis di hadapak dokter. “Maaf kita sudah berusaha
semaksimal mungkin tetapi Tuhan berkata lain”. Tanpa berfikir panjang aku
langsung berlari menuju ruangan itu dan benar saja dugaanku, Dwi sudah
meninggalkanku untuk selama-lamanya”. Saat itu juga aku menangis sangat keras
dan teriak-teriak memanggil nama Dwi. Percuma saja Dwi hanya tertidur dan tidak
mungkin bangun kembali. Saat itu juga Pak Agus menghampiriku dan menangis
tetapi dia kelihatan lebih tegar dari ada aku. Ia memberikanku sebuah surat , lalu ia menjelaskan bahwa surat ini dari Dwi. aku sesegera mungkin
membuka amplop dan membaca isi surat
itu dengan perlahan. Isi surat
itu:
“AKU SANGAT SENANG BISA
BERKENALAN DENGAN DIRIMU”
Begitu membaca 7 kata
yang ada di dalam surat
itu, aku langsung memeluk tubuh sahabat terbaikku yang sudah tidak bernyawa.
Keesokan harinya adalah
hari pemakaman Dwi. aku menghadiri pemakaman tersebut bersama seluruh
keluargaku. Setelah selesai pemakaman, setiap minggu aku selalu datang ke makam
dwi untuk mendo’akannya. Semoga tenang di alam sana Dwi, walaupun kita beda kehidupan tapi
aku yakin kau selalu ada di hati kecilku.
Cerpen Karangan: Ayu
Febriyanti
Facebook: aiiu febriyanthie
Facebook: aiiu febriyanthie
UNSUR INTRINSIK DAN
EKSTURINSIK CERPEN
Tema :
persahabatan
Judul : 7 kata
terakhir dari sahabatku
Latar : kelas ,
sekolah , rumah sakit sanglah , pemakaman
Alur : alur cerita itu adalah alur maju karena
jalan cerita dijelaskan secara runtut
Sudut pandang :
orang pertama , pelaku utama
Penokohan : dwi : baik , asik , enak diajak curhat ,
jail , punya penyakit leukemia, mendem rahasia
Febri : baik ,
mandiri , perasa , setia kawan , punya rasa simpati
Ayah dwi : sabar , tegar ,
baik , berkumis , tabah
Dokter ; pesimis
Penyelesaian : sad
ending sedih
Amanat : jangan
suka memendam sesuatu
Tidak boleh berpikir buruk tentang
sahabat
Harus ikhlas menerima kenyataan
Sabar , percaya semua yg tgerjadi pasti ada
hikmahnya
Ekstrinsik
Nilai moral : tidak
oleh berprasangka buruk kepada teman , karena berprasangka buruk mencerminkan
akhlak serta budi pekerti yg kurang baik
Nilai agama : harus
tabah dan sabar menerima kenyataan
Nilai social :
menjenguk teman di rumah sakit
Nilai pendidikan ;
kalo belajar harus focus , engga boelh mikirin yg lain selain pelajaran
Nilai ekonomi : febri orangnya sangat sederhana , iya dari
rumah kesekolah jalan kaki
Nilai kebudayaan :
budaya disiplin , berangkat pagi kesekolah , agar tidak telat
0 komentar:
Posting Komentar